Sejarah ringkas pembentukan Provinsi Jambi 1957



 a. BKRD bersidang membahas kondisi Jambi yang saat itu sedemikian menghangatnya untuk menjadi provinsi sendiri, lepas dari bagian Provinsi Sumatra Tengah. Keputusan sidang diambil pukul 02.00WIB

 b. Kendati tidak terpaksa, Pleno BKRD pada 5 Januari 1957 merupakan kelanjutan dari Kongres Pemuda Jambi yang berlangsung dari 3 hingga 5 Januari 1957.

Kongres Pemuda Jambi ini dihadiri oleh utusan dari setiap kawedanaan di daerah Jambi, organisasi-organisasi pemuda, organisasi bekas pejuang, dan utusan kampung-mapung dalam Kota Besar Jambi.Kawedanan Jambi tersebut meliputi: Jambi, Bangko, Sarolangun, Muaro Tebo, Muaro Tembesi, dan Kota Besar Jambi.

 ► Kongres Pemuda Jambi memutuskan:

1. Membentuk Badan Kongres Pemuda Jambi yang akan memperjuangkan Provinsi Otonomi Daerah Jambi bersama-sama Badan Kongres Rakyat Jambi;

2. Menuntuk/mendesak Badan Kongres Rakyat Jambi (BKRD) segera a) mengesahkan/menyetujui Pembentukan Dewan Persiapan Provinsi Jambi pada 21 Desember 1956; b) memproklamasikan de facto Provinsi Otonomi Daerah Jambi selambat-lambatnya tanggal 9 Januari 1957, memutuskan hubungan dengan Provinsi Sumatra Tengah, dan berhubungan langsung ke Pemerintah Pusat;

3. Kongres Pemuda se daerah Jambi bekerja sama dengan BKRD melaksanakan tuntutan tersebut;

4. Jika BKRD tidak bertanggung-jawab atas tuntutan ini, Kongres Pemuda akan menentukan sikap tegas;
5. Kongres Pemuda se Jambi meyakini BKRD menyadari dengan sungguh-sungguh tidak akan mengkhianati perjuangan rakyat Jambi;

6. Resolusi ini disampaikan kepada Badan Kongres Rakyat Jambi (BKRD) untuk segera mendapatkan jawaban dalam pleno BKRD pada 5 s/d 6 Januari 1957;

7. Pressure Kongres Pemuda se Jambi mendapat tempat dalam pleno BKRD karena peserta Kongres Pemuda ikut ambil bagian, bahkan ikut serta dalam penandatanganan keputusan BKRD yang bersejarah itu.

► Latar belakang peristiwa dapat dicatat dari Konsideran Resolusi Badan Kongres Rakyat Jambi:

1. Tuntutan rakyat Jambi untuk daerah otonom tingkat provinsi dengan menggunakan saluran-saluran demokrasi parlemen berlarut-larut; 2. Janji-janji Pemerintah Pusat kepada utusan-utusan rakyat Jambi yang akan mengabulkan tuntutan rakyat Jambi; 3. Peninjauan-peninjauan dari Pemerintah Pusat di parlemen Republik Indonesia ke daerah Jambi berkali-kali dilakukan.

Perjuangan untuk menjadi provinsi berbenih pada saat pembentukan Provinsi Sumatra Tengah. Saat itu pada sidang Dewan Perwakilan Sumatra (DPS) 17-19 April 1946 di Bukittinggi terpaksa dilakukan voting memasukkan Keresidenan Jambi ke Sub Provinsi Sumatra Tengah bersama Sumatra Barat dan Riau yang dikukuhkan dengan SK Gubernur Sumatra No. 143 tanggal 2 Juli 1946.

Aspirasi ini berlanjut bukan saja sebagai sub provinsi administratif, tetapi juga diberikan kewenangan otonomi. Melalui PP No. 8 Tahun 1947 kemudian UU No. 10 tanggal 15 April 1948, Sub Provinsi Sumatra (Utara, Tengah, dan Selatan) dikukuhkan sebagai Provinsi Sumatra. Jambi bersama Sumatra Barat dan Riau menjadi bagian dari wilayah Provinsi Sumatra Tengah.

Pembentukan kabupaten dilakukan melalui Panitia Desentralisasi Sumatra Tengah yang terbentuk pada 2 Oktober 1948 oleh Badan Eksekutif DPR Sumatra Tengah (DPST). Hasilnya adalah 11 kabupaten yang di antaranya Kabupaten Merangin dengan ibu kotanya Muaro Bungo meliputi Kewedanaan Muaro Tebo, Muaro Bungo, Bangko, dan Sarolangun; Kabupaten Batanghari dengan ibukotanya Jambi meliputi Kewedanaan Jambi, Muaro Tembesi, Kuala Tungkal, dan Muaro Sabak. Kabupaten Merangin merupakan alihan dari penyebutan Jambi Ilir. Ibukota Keresidenan Jambi adalah Jambi yang wilayahnya berstatus Kewedanaan Jambi Kota.

Banyak tokoh masyarakat menyatakan keinginan untuk lepas dari lingkungan Provinsi Sumatra Tengah dan bergabung dengan Sumatra Selatan, seperti di awal pembentukan Keresidenan Jambi sebagai bagian dari Keresidenan Palembang di tahun 1901 dan menjadi keresidenan penuh tahun 1908.

Keinginan-keinginan tersebut tidak segera terwujud, karena saat itu lebih banyak menghadapi persoalan dengan Belanda yang ingin kembali bercokol di Indonesia, termasuk penguasaan atas Jambi. Ketegangan politik dan militer dari Agresi Belanda di seluruh Indonesia mendorong pemimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) mengadakan rapat dengan Ketua Komisariat Pemerintah Pusat, Mr. T. M. Hasan (Mantan Gubernur Sumatra), Panglima Teritorial Sumatra Kolonel Hidayat, Gubernur Sumatra Tengah Mr. Nasroen, dan beberapa pegawai tinggi lainnya. Rapat tersebut memutuskan membekukan sementara Provinsi Sumatra Tengah. DPR Keresidenan dihidupkan kembali dan diberi kekuasaan penuh untuk melancarkan pemerintah dan perjuangan di keresidenan masing-masing. Pejabat pemerintah saat itu dimiliterisasi dan Jambi dimasukkan ke dalam Pemerintah Militer Sumatra Selatan.

Kondisi seperti inilah terus berlanjut dan di sela-sela itu perjuangan Keresidenan Jambi keluar dari Sumatra Tengah berlanjut hingga tahun 1953. Awal tahun 1954 wacana melepaskan diri dari Sumatra Tengah dan tidak pula bergabung dengan Sumatra Selatan semakin mengkristal untuk mendirikan provinsi sendiri melalui Front Pemuda Jambi, Kongres Pemuda se-daerah Jambi. Hasil konfrensi Pasirah-Pasirah (kepala marga) pada 18 Januari 1955, rapat raksasa Rakyat Jambi di Muaro Tebo pada 18 April 1955, dan dengan tegas dilanjutkan oleh Kongres Rakyat Jambi dalam beberapa kali pertemuan di tahun 1955, berketetapan menuntut Keresidenan Jambi dijadikan suatu daerah otonom setingkat provinsi.

Kongres Rakyat Jambi yang berlangsung pada 15 hingga 18 Juni 1955 di Kota Jambi menghasilkan pembentukan Badan Kongres Rakyat Jambi (BKRD) yang beranggotakan 36 orang. Ketigapuluh enam orang tersebut, 9 orang merupakan hasil pilihan kongres, 16 orang dari unsur kewedanaan dan Kota Jambi, 10 orang mewakili partai politik, dan 1 orang bekas pejuang. Seusai kongres terjadi penambahan 2 orang anggota baru (BKRD).

Kristalisasi tekad pembentukan Provinsi Jambi tidak berjalan mulus. Berbagai pandangan muncul, di antaranya isu keinginan berprovinsi muncul dari parpol tertentu, padahal sejarah mencatat seluruh komponen masyarakat menyatakan upaya tersebut harus diwujudkan. Kendati demikian, memang terjadi pengelompokan. Kelompok pertama ingin menggabungkan Jambi ke Provinsi Sumatra Selatan; kelompok kedua, Jambi tetap berada dalam wilayah Sumatra Tengah; dan kelompok ketiga, sebagai kelompok kecil bertekad Jambi berprovinsi sendiri. Lobi-lobi dan pembahasan berlanjut yang akhirnya tercapai suatu kesatuan tekad Jambi menjadi provinsi sendiri. Berkali-kali para delegasi ke Pemerintah Pusat dan pihak-pihak penguasa lainnya, baik di Sumatra Selatan maupun Sumatra Tengah sendiri. Pemerintah Militer Sumatra Selatan maupun Pemerintah Militer Sumatra Tengah sangat mendukung sehingga terkesan duplikasi kewenangan pemerintah. Hal ini terlihat ketika peresmian Provinsi Jambi pada 8 Februari 1957 dilakukan oleh Penguasa Militer Sumatra Tengah (Dewan Banteng) Letnan Kolonel Ahmad Husein dan disaksikan oleh Panglima Teritorial II Sriwijaya Letnan Kolonel Berlian.

Tuntutan dan pernyaan-pernyataan sikap rakyat Jambi semakin meluas dengan adanya Radio Jambi beroperasi pada 4 Januari 1957. Radio Jambi ini mengudara menggunakan alat kelengkapan Zender Radio Pos, Telepon, dan Telegraf atas dasar persetujuan Kepala Kantor Telekomunikasi Palembang. Radio Jambi ini dikelola oleh Dewan Radio yang dikoordinasikan oleh BKRD dengan pimpinan (Kepala Studio) H. F. Suraty, Kepala Jawatan Penerangan Kabupaten Batanghari.

Perjuangan melalui utusan delegasi yang dikirim BKRD mendapat tanggapan. RRI Jakarta memberitakan bahwa sidang kabinet 8 Januari 1957 menyetujui daerah Riau dan Jambi yang menyatakan menjadi provinsi tersebut belum mempunyai kekuatan hukum dalam bentuk undang-undang. Di bawah koordinasi BKRD dikirim berkali-kali delegasi ke Pusat, Palembang, dan Bukittinggi. Secara internal pun dalam masa seperti itu BKRD mendapat tanggapan-tanggapan pro dan kontra karena lambat dan alotnya mendapat dukungan dari Pusat maupun penguasa militer dari Palembang maupun Bukittinggi.

Menyikapi kelambanan yang terjadi, pada 10 Juli 1957 Badan Harian BKRD mengadakan sidang yang satu di antara putusannya adalah pembentukan Provinsi Jambi agar dikokohkan dengan Undang-Undang Darurat. Keputusan ini mendapat dukungan politis dari DPRD Peralihan Kabupaten Merangin pada 12 Juli 1957, Batanghari 15 Juli 1957, dan DPRDP Kota Praja Jambi pada 15 Juli 1957, Parpol, dan organisasi kemasyarakatan. Persatuan Keluarga Kerinci selain mendukung Pemerintah Provinsi Jambi, juga mengharapkan Kerinci masuk ke Jambi, seperti pernyataan 16 dan 17 Juli 1957 sebagai wujud hasil Kongres Rakyat Jambi 1957. Dukungan dari berbagai lapisan masyarakat juga cukup kuat, misalnya dari Marga Jambi Kecil. Akhirnya yang ditunggu tiba, pada 7 Agustus 1957 (Rabu malam Kemis) kabinet menerima RUU Pembentukan Provinsi Sumatra Barat, Jambi, dan Riau. Undang-Undang tersebut ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno pada 9 Agustus 1957 di Denpasar Bali dalam bentuk Undang-Undang Darurat No. 19 Tahun 1957 dan kemudian UU Darurat menjadi Undang-Undang No. 61 Tahun 1958.

Suasana gembira menyambut de facto dan de jure pendirian Provinsi Jambi, dilanjutkan lagi dengan penempatan figur ketua BKRD H. Hanafi sebagai Gubernur Provinsi Jambi sebagaimana diusulkan dan ditetapkan oleh Sidang BKRD dan dikokohkan oleh Sidang Pleno Gabungan DPRDP Kabupaten Merangin, Batanghari, dan Kota Praja Jambi.

Sesuai Undang-Undang Darurat No. 19 Tahun 1957 wilayah Provinsi Jambi meliputi Kabupaten Merangin, Batanghari, Kota Praja Jambi, dan wilayah-wilayah Kecamatan Kerinci Hulu, Kerinci Tengah, dan Kerinci Hilir (semula merupakan bagian dari Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci). Kemudian dalam UU No. 21 Tahun 1958 tanggal 10 November 1958, Kecamatan Kerinci Hulu, Tengah, dan Hilir menjadi satu kabupaten, yaitu Kabupaten Kerinci yang peresmiannya dilakukan oleh Gubernur KDH Provinsi Jambi M. Yusuf Singadekane atas nama Menteri Dalam Negeri.

Provinsi Jambi sendiri yang dibentuk berdasarkan UU No. 19 Tahun 1957 dan UU No. 61 Tahun 1958 diresmikan pada 30 Desember 1957 di Gedung Nasional (Gedung BKOW) oleh Pejabat Gubernur Provinsi Jambi Jamin Datuk Bagindo atas nama Mentri Dalam Negeri. Kemudian pada 31 Desember 1957 di kediaman Residen Jambi anggota DPRDP dilantik oleh Pejabat Jambi, dan pada Rapat Pleno 2 Juni 1958 terpilih ketua DPRDP Provinsi Jambi H. Hanafi.

H. Hanafi dari Ketua BKRD dan dipilih sebagai ketua DPRDP kemudian menjadi calon tunggal Gubernur Jambi. Hasil sidang DPRD Provinsi Jambi pada 3 Maret 1958 mengajukan nama H. Hanafi sebagai calon Gubernur Jambi ke Mentri Dalam Negeri. Dalam Surat Keputusan Mentri Dalam Negeri Sanusi Harjadinata No. Des. 71/15/29 tanggal 24 April 1958 menetapkan H. Hanafi sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Jambi. Oleh karena H. Hanafi terjaring Operasi Sadar oleh Task Force dan beliau ditahan di Palembang, pelantikan dibatalkan dan jabatan sebagai Ketua DPRDP digantikan oleh Murat Alwi. Pada tahun 1958 dilakukan kembali pemilihan gubernur dalam Rapat Pleno DPRDP yang hasilnya memilih Letkol. M. Yusuf Singadekane sebagai Gubernur Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Jambi.

[Ayahanda kami Djunaidi T. Noor]